Pages

topbella

Senin, 13 Januari 2014

MENELADANI PERI HIDUP RASÛLULLÂH SEUTUHNYA

Muhammad Adalah Teladan hidup
Setiap tanggal 12 Rabiul Awwal, umat Islam memperingatinya sebagai Hari Maulid Nabi, hari kelahiran Rasûlullâh Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Berbagai acara pun digelar, menjelang dan sesudah hari itu. Yang paling lazim adalah dengan tabligh akbar yang menampilkan sejumlah penceramah — dai, ulama, dan ustadz. Berbagai sisi kehidupan Rasûlullâh dikupas. Dari sejak lahir, kanak-kanak, remaja, dewasa hingga wafatnya. Intinya, mengemukakan keteladanan Rasûlullâh yang dikontekskan dengan kondisi masyarakat Indonesia kini. Diharapkan, umat Islam dapat mencontoh keteladanan beliau. Pertanyaannya, seberapa jauh peringatan yang diselenggarakan setiap tahun itu memberi pengaruh positif pada perilaku dan akhlak masyarakat. Faktanya, angka korupsi di negeri ini tertinggi di dunia, kejahatan dan tindak kriminalitas pun tidak surut, dan kemaksiatan juga semakin merajalela dan terang-terangan.
Umat Islam selayaknya gembira ketika sampai pada bulan Rabi’ul Awwal karena pada bulan inilah Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam lahir ke dunia menjadi Utusan Allâh yang terakhir.Tidak ada lagi Nabi setelahnya. Karena itu, bulan Rabi’ul Awwal merupakan momentum umat Islam untuk mempelajari dan menggali kemudian menghidupkan sunnah-sunnah nabawiyyah dalam berbagai praktik kehidupan sehari-hari. Tentu yang paling penting bagi umat Islam—pada momentum kelahiran Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam ini — berupaya untuk semakin mengenal dan meneladani Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam Makna memperingati Maulid Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bukan sekedar seremonial keagamaan semata, namun hendaklah ditujukan kearah intropeksi total diri sendiri, guna meningkatkan kualitas hidup beragama, beribadah, dan bermasyarakat.
Sejarah
Peringatan Maulid Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam pertama kali diselenggarakan oleh Muzaffar ibn Baktati, raja Mesir yang terkenal arif dan bijaksana. Sedangkan pencetus ide peringatan adalah panglima perangnya, Shalahuddin Yussuf Al-Ayubi (abad ke-6 M), sosok pemimpin pasukan Islam yang pernah mengalahkan pasukan Kristen dalam Perang Salib. Shalahuddin juga merupakan panglima Islam di masa Khalifah Mu’iz Liddinillâh dari dinasti Bani Fathimiyah di Mesir (berkuasa 365 H/975 M). Seperti disebutkan dalam Ensiklopedia Islam untuk Pelajar, ia kemudian juga gigih menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi dari tahun ke tahun di masanya. Mengapa Shalahuddin merasa perlu mengadakan peringatan Maulid? Sang panglima berpendapat, ketika Perang Salib terjadi, motivasi umat Islam sangat menurun, sementara motivasi pasukan Salib (Kristen) meningkat. Hal ini tentu tidak kondusif bagi pasukan Islam, sehingga Shalahuddin merasa perlu membangkitkan kembali semangat umat Islam sebagaimana umat Kristen dengan perayaan Natal-nya. Maka, sang panglima ini kemudian mengadakan peringatan hari lahir Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang kemudian dikenal dengan sebutan Maulid Nabi. Bila dalam peringatan Natal kaum Kristen dikisahkan tentang keagungan Yesus, maka dalam peringatan Maulid, Shalahuddin menggemakan kisah perang yang dilakukan Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Tapi belakangan, yang dibacakan pada acara peringatan Maulid tersebut berubah, bukan lagi kisah perang, melainkan kisah lahir dan hidup sang Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Kisah perang tampaknya dianggap tak lagi relevan.
Walaupun peringatan Maulid Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam masih dipertanyakan oleh beberapa kalangan dan dinyatakan sebagai bid’ah, peringatan Maulid Nabi tampaknya masih perlu dilakukan. Di tengah perkembangan globalisasi saat ini, yang tak jarang memperlemah semangat keimanan umat Islam, maka peringatan Maulid Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjadi sangat penting. Selain dimaksudkan untuk meneladani akhlak Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam, peringatan Maulid juga untuk memberikan motivasi kepada umat tentang pentingnya perang yang lebih besar, yakni perang melawan kemungkaran dan kemaksiatan. Krisis berkepanjangan bangsa Indonesia saat ini, antara lain disebabkan merajalelanya kemaksiatan, kemungkaran dan tidak adanya penegakan nilai-nilai moral. Hawa nafsu lebih mendominasi kehidupan umat manusia saat ini ketimbang moral.
Memperingati Maulid Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam bermakna meneladani jejak langkah sunnah Rasul yang telah diwariskannya. Beliau adalah teladan hidup yang menyemai banyak kebaikan dalam rangkaian keindahan hidup. Keteladanan yang akan senantiasa layak diikuti setiap generasi dari semua generasi sekarang maupun yang akan datang. Perjalanan sejarah hidup beliau melalui berbagai fase yang penuh kemandirian dan perjuangan. Semua perjalanannya juga dihiasi dengan keluhuran sikap dan ketinggian budi pekerti. Rasûlullâh yang lahir sebagai seorang yatim kemudian mampu menunjukkan berbagai hal tersebut di atas semenjak masa kanak-kanaknya.
Dalam diri Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam terkumpul sifat-sifat utama yaitu rendah hati, lemah lembut, jujur, tidak suka mencari-cari cacat orang lain, sabar, tidak angkuh, santun dan tidak mudah mabuk pujian. Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam selalu berusaha melupakan hal-hal yang tidak berkenan di hatinya dan tidak pernah berputus asa dalam berusaha. Oleh sebab itu Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam adalah tipe ideal bagi seluruh kaum muslimin, termasuk bagi para sufi. Hal ini sesuai dengan firman Alah SWT dalam al-Qur’an surat al-Ahzâb [33]: 21, “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasûlullâh itu suri teladan yang baik bagimu yaitu bagi orang yang mengharap ( rahmat ) Allâh dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Alah.” (QS al-Ahzâb [33]: 21)
Menurut berbagai riwayat, pada masa remajanya, Muhammad yang tinggal dengan pamannya, melakukan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh mereka yang seusianya. Beliau memulai mengasah mentalitas wirausahanya dengan menjadi penggembala untuk orang-orang Mekkah di masa kanak-kanaknya. Dengan menjadi penggembala beliau mendapatkan upah, guna meringankan sedikit beban yang ditanggung oleh pamannya. Beliau ingin berpenghasilan dan bisa mandiri. Tidak hendak berpangku tangan hanya sekedar bermain saja. Sebagai anak muda yang jujur dan punya harga diri, beliau sama sekali tidak suka berlama-lama menjadi tanggungan pamannya yang memiliki beban keluarga besar.[1]
Sebuah perkerjaan yang kemudian mengantarkan beliau untuk lebih banyak merenung dan berpikir tentang kondisi kaumnya. Kaumnya yang saat itu terejerumus dalam berbagai bentuk kejahilliyahan, menyembah berhala, menjalankan riba, minum minuman keras serta pelbagai macam kesenangan dan hiburan sepuas-puasnya tidak menarik minat Muhammad remaja sedikitpun. Jiwa bersihnya yang selalu mendambakan kesempurnaan menyebabkan beliau menjauhi foya-foya, yang biasa menjadi kesenangan utama penduduk Mekkah. Beliau mendambakan cahaya hidup yang akan lahir dalam segala manifestasi kehidupan, dan yang akan dicapainya hanya dengan dasar kebenaran. Kenyataan ini dibuktikan dengan julukan yang diberikan orang kepadanya dan bawaan yang ada dalam dirinya. Itu sebabnya, sejak masa kanak-kanak gejala kesempurnaan, kedewasaan dan kejujuran hati sudah tampak, sehingga penduduk Mekkah semua memanggilnya al-Amîn (yang dapat dipercaya).[2]
Bulan Rabi’ul Awal merupakan bulan ekspresi kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW. Hari-hari pada bulan ini banyak digunakan untuk mengenang kebesaran dan jasa-jasanya. Beliau adalah manusia pilihan Allâh SWT, dialah manusia mulia yang telah menunaikan amanah, menyampaikan risalah, membina umat, dan membebaskan manusia dari penyembahan kepada berhala menuju pada penyembahan kepada Allâh SWT.
Sungguh ironis memang. Bulan ini kita kembali memasuki bulan Rabi’ul Awwal, bulan yang di dalamnya dilahirkan seorang manusia pilihan untuk menyempurnakan risalah yang telah dibawa sejak nabi Adam AS. Rasanya tepat bagi kita bermuhasabah sejenak, kembali merenungi sosok agung tersebut agar kita dapat kembali kejalan yang benar. Wujud cinta kita kepada Rasûlullâh selalu kita buktikan dengan mengikuti perbuatan-perbuatannya. Rasul menganjurkan berbuat baik kepada semua orang, dengan segera kita melaksanakannya. Ketika Rasul menyuruh kita sopan santun, jujur, adil, bersikap pemaaf, maka dengan antusias kita menyambut dan melaksanakan perintah itu. Sehingga dalam kadar tertentu kita telah menjadikan Rasûlullâh sebagai figur yang harus diteladani dalam segala komponen kehidupan. Bahkan Rasûlullâh adalah ushwatun hasanah atau teladan yang baik.[3]

Rethinking Maulid Maulid Nabi

Meskipun Maulid Nabi diperingati setiap tahun, mengapa perilaku masyarakat tetap tidak berubah. Salah satu penyebabnya adalah adanya tarik menarik antara kebaikan dan keburukan. Di negeri ini, rupanya keburukan lebih menarik daripada kebaikan. Apalagi keburukan dikemas dalam bentuk yang lebih menarik dan indah, sehingga kebaikan pun menjadi terpendam. Ini merupakan tantangan bagi para penganjur kebaikan, baik individu, kelompok maupun lembaga atau institusi. Yakni, bagaimana mereka bisa menyampaikan kebaikan dengan cara yang efektif dan menarik. Para penganjur keburukan kini jumlahnya semakin meningkat. Mereka juga sangat cerdik mengemas keburukan itu dalam berbagai bentuk, termasuk lewat dunia hiburan berkedok seni. Mereka mengemas pornografi dengan dalih ekspresi seni (baca: seperti seni erotis zaman jahiliyah).  Kebanyakan umat Islam sebenarnya sudah tahu bahwa Rasûlullâh itu adalah teladan yang baik. Masalahnya, lanjut Quraish Shihab, kemauan meneladani itu terhalang oleh nafsu.[4]
Pada masa sekarang ini yang paling menonjol untuk dicontoh dari Rasûlullâh adalah sifat jujur atau amanah. Dua sifat ini sudah banyak hilang dan akhirnya menciptakan kemungkaran-kemungkaran yang berakibat kepada kesengsaraan masyarakat. Krisis moral dan akhlak ditambah dengan tidak adanya keteladanan para pemimpin (baca: karena mereka juga cacat moral dan akhlak). Bagaimana mungkin pemimpin akan mengubah masyarakat kepada keadilan dan kesejahteraan jika pemimpinnya tidak memberikan teladan. Krisis ekonomi yang berkepanjangan sebenarnya adalah akibat pemimpin-pemimpin yang tidak jujur dan tidak amanah. Seorang pemimpin seharusnya meneladai empat sifat Rasûlullâh: bisa dipercaya, patut menerima kepercayaan, bisa dan mampu menyampaikan kebenaran, serta bijaksana dan cerdas. Sifat-sifat inilah yang harus ditiru umat Islam, terutama mereka yang saat ini diamanati berkuasa di negeri ini.[5]
Umat Islam sekarang ini memahami pribadi Rasûlullâh dengan cara yang sangat formal dan normatif. Nabi Muhammad ditampilkan hanya sebatas pada ceramah-ceramah, khutbah, dan sebagainya, tapi tidak dikonstruksikan sebagai bagian dari diri mereka (umat Islam). Yang ada hanya transfer ilmu dan pengetahuan bukan nilai-nilai yang harus ditanamkan dalam diri umat. Sebagai contoh biasanya para penceramah peringatan Maulid memposisikan Nabi Muhammad SAW sebagai sosok di langit, lebih sebagai pahlawan dan wakil dari Tuhan. Nabi tidak diajarkan dengan pendekatan dengan menyampaikan nilai-nilai kemanusiaan yang ada pada diri nabi sehingga nabi adalah sosok yang nyata dan dapat dicontoh. Seperti telah Allâh firmankan: “Katakanlah: sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat pada Tuhannya” (QS. Al-Kahfi [18]: 110). Sehingga wajar jika sampai saat ini kegiatan peringatan Maulid Nabi hanya sebatas seremonial dan kurang membekas pada umat Islam.
Ada lagi sebagian dari umat Islam mencontoh dan meneladani Nabi hanya pada hal-hal yang menguntungkan diri mereka pribadi. Misalnya mencontoh beristri lebih dari satu, tetapi mereka adalah orang yang tidak mencontoh sifat adil pada diri Rasûlullâh. Menuntut orang lain untuk hidup sederhana tetapi dirinya sendiri hidup foya-foya dan hura-hura. Keteladanan Rasûlullâh tidak seharusnya diambil sebagian-sebagian. Seluruh kehidupan Rasûlullâh harus kita jadikan teladan, mulai dari bagaimana beliau bermasyarakat, menjadi pemimpin, komandan perang, pedagang, pendidik, sebagai suami, ayah, sebagai teman, dan seterusnya. Itulah inti dari peringatan Maulid Nabi.
Namun amat disayangkan, rasa cinta kepada Rasûlullâh itu sedikit demi sedikit mulai memudar sesuai dengan berkembangnya peradaban. Sangat ironis memang, ternyata generasi muda kita lebih paham dan mengikuti “sabda-sabda” yang mereka anggap sebagai figur “teladan”. Tak bisa menutup mata, bahwa remaja kita mulai gandrung dengan tokoh-tokoh artis yang mereka anggap mampu memberi inspirasi dalam hidupnya. Bahkan dalam tataran tertentu mampu menumbuhkan histeria. Bukan saja kaum muda yang sudah mematut-matut diri menyamakan dengan idola pujaannya. Namun, tanpa disadari kaum tua pun telah melakukan hal yang sama, meski dalam unsur yang berbeda. Dalam diri kita mulai merayap pemikiran dan perasaan yang bertolak belakang dengan sikap Rasûlullâh sebagai teladan kita. Betapa naifnya kita mengaku-ngaku mencintai dan meneladani Rasûlullâh sementara kita sendiri tak pernah mengikuti perilakunya. Cinta kita, cinta palsu belaka. Di satu sisi kita senantiasa bersholawat kepadanya, tapi pada kesempatan yang lain kita malah melakukan perbuatan yang dilarangnya, yang jelas bertentangan dengan perilaku mulianya.[6]
Satu hal yang bisa kita dapati bila kita mencintai dan meneladani Rasûlullâh dalam segala komponen kehidupan, yang tak akan pernah kita jumpai dalam mencintai dan meneladani selain Rasûlullâh, yakni Rasûlullâh akan memberi “bonus” berupa syafaat kepada kita di hari penghisaban, bila kita mengikuti apa-apa yang diperintahkannya dan menghindari apa yang dilarangnya. Tak perlu menipu diri dengan menganggap nanti akan mendapat syafaat, sementara kita tak pernah meledani perbuatan Rasûlullâh.

Cara Meneladani Rasûlullâh saw
Seseorang yang mempunyai idola tentu saja prilakunya tidak jauh dari sosok yang diidolakan. Berusaha menyukai hal-hal yang disukai idola, mengoleksi atribut-atribut yang ada hubungannya dengan idola, bahkan berusaha mati-matian berpola hidup seperti sang idola.  Begitu pula ketika kita mengaku mengidolakan Rasûlullâh. Konsekuensinya tentu saja kita harus menghidupkan sunnah-sunnahnya baik berupa perbuatan, perkataan maupun penetapan beliau. Jangan mengaku mengidolakan Rasûlullâh jika membaca al-Qur’an saja jarang-jarang. Sholat wajib masih sering bolong. Bermuka manis terhadap sesama terasa sulit. Pelit untuk bersedekah. Gemar berbohong. Gunjing sana-sini. Jam karet dan ingkar janji jadi kebiasaan. Semua hal tersebut tentu saja kontradiksi dari apa yang telah dicontohkan oleh Rasûlullâh.
 قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
31. Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allâh, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allâh mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 31).
Imam at-Thabarî, ketika menafsirkan ayat ini berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan hakim (pemutus perkara) bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allâh, akan tetapi dia tidak mengikuti jalan (sunnah) Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam, maka dia adalah orang yang berdusta dalam pengakuan tersebut dalam masalah ini, sampai dia mau mengikuti syariat dan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaannya. Berakhlaklah seperti al-Qur’an, karena ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anha. ketika ditanya bagaimanakah akhlak nabi, beliau menjawab Sungguh akhlak Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam adalah al-Qur’an. Barang siapa mengamalkan al-Qur’an dan sunnah, maka sungguh ia telah meneladani Rasûlullâh dengan sebenar-benarnya.[7]

Meneladani Kepemimpinan Rasûlullâh
Urusan kepemimpinan dalam Islam merupakan salah satu kewajiban agama diantara kewajiban lainnya, sebab agama tidak mungkin tegak tanpa pemimpin. Hal ini erat kaitannya dengan fitrah manusia, dimana setiap manusia itu dilahirkan untuk menjadi seorang pemimpin. Seperti sabda Rasulullah, “setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya” (HR. Bukhari dan Muslim). Hanya tingkatan pemimpin itu yang berbeda, ada yang memimpin dalam lingkup kecil seperti lingkup keluarga, sampai lingkup yang paling besar seperti menjadi pemimpin suatu negara. Namun di level mana pun seorang pemimpin pasti ingin menjadi pemimpin yang sukses dan ditaati. Pemimpin yang sukses adalah pemimpin yang mampu membawa perubahan yang lebih baik pada yang dipimpinnya.[8]
Kepemimpinan sesungguhnya tidak ditentukan oleh pangkat ataupun jabatan seseorang. Kepemimpinan adalah sesuatu yang muncul dari dalam dan merupakan buah dari keputusan seseorang untuk mau menjadi pemimpin, baik bagi diri sendiri,  keluarga, lingkungan sekitanya, maupun lingkungan masyarakat luas/negara.   Kepemimpinan adalah sebuah keputusan dan lebih merupakan hasil proses dari perubahan karakter atau transformasi internal dalam diri seseorang. Kepemimpinan bukanlah jabatan atau gelar, melainkan sebuah kelahiran dari proses panjang dalam diri seseorang. Ketika seseorang menemukan visi dan misi hidupnya, ketika terjadi perdamaian dalam diri (inner peace) dan membentuk bangunan karakter yang kokoh, ketika setiap ucapan dan tindakannya mulai memberikan pengaruh pada lingkungannya, dan ketika keberadaannya mendorong perubahan dalam organisasinya, maka pada saat itulah seseorang lahir menjadi pemimpin sejati. Pemimpin sejati bukan sekedar gelar atau jabatan yang diberikan dari luar melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri seseorang.[9]
Kepemimpinan merupakan salah satu topik yang selalu menarik untuk dikaji dan diteliti, karena paling banyak diamati sekaligus fenomena yang paling sedikit dipahami. Fenomena kepemimpinan di negara Indonesia juga telah membuktikan bagaimana kepemimpinan telah berpengaruh sangat besar terhadap kehidupan berpolitik dan bernegara. Dalam kehidupan apapun, kepemimpinan berpengaruh sangat kuat terhadap jalannya organisasi dan kelangsungan hidupnya. Sebaliknya, jika pemimpin tidak pernah menggunakan nilai-nilai prophetic intellegence dalam kepemimpinannya maka jangan pernah berharap roda organisasi akan berjalan dengan baik maka kalau sudah meninggalkan prinsip-prinsip yang telah ditanamkan Rasul tentunya suatu organisasi akan tenggelam dan selanjutnya tinggal menunggu saat-saat kematiannya. Kepemimpinan sebagai salah satu penentu arah dan tujuan organisasi harus mampu melakukan perubahan-perubahan konstruktif. Pemimpin yang tidak dapat mengantisipasi dunia yang sedang berubah ini, atau setidaknya tidak memberikan respon, besar kemungkinan akan memasukkan organisasinya dalam situasi stagnasi dan akhirnya mengalami keruntuhan.[10]
Ada dua hal penting dalam prinsip-prinsip kepemimpinan:
  1. Bertaqwa kepada Allâh
Kepemimpinan yang dilandasi dengan taqwa akan melahirkan suatu sistem masyarakat yang tidak mengenal diskriminasi di antara mereka sebab pemimpin dalam menjalankan tugas kepemimpinannya lebih merupakan pengabdian kepada masyarakat sekaligus dalam rangka beribadah kepada Allâh SWT.
  1. Menjadikan pemimpin sebagai amanah
Dalam Islam, sesungguhnya pemimpin itu adalah amanah dari Allâh SWT, sehingga tidak saja harus dipertanggungjawabkan di dunia akan tetapi juga harus dipertanggungjawabkan di akhirat Banyak di antara kita yang tidak menyadari, bahwa seorang pemimpin sejati seringkali tidak diketahui keberadaannya oleh mereka yang dipimpin. Bahkan ketika misi dan tugas terselesaikan, maka seluruh anggota tim akan mengatakan bahwa merekalah yang melakukan sendiri. Pemimpin sejati adalah seorang pemberi semangat (encourager), motivator, inspirator dan maximizer. Konsep pemikiran seperti ini adalah sesuatu yang baru dan mungkin tidak bisa diterima oleh para pemimpin konvensional yang justru mengharapkan penghormatan dan pujian (honor and praise) dari mereka yang dipimpin. Semakin dipuji semakin tinggi hati dan lupa dirilah seorang pemimpin itu. Justru pemimpin sejati mesti harus menerapkan pola kepemimpinan yang didasarkan pada kerendahan hati (humble). Nabi Muhammad SAW adalah pemimpin yang sangat berhasil. Beliau berhasil merubah masyarakat Arab yang awalnya berperilaku jahiliyah menjadi masyarakat madani yang berperadaban tinggi dan mulia.[11] Ada beberapa faktor yang menyebabkan kepemimpinan Rasûlullâh sangat berhasil, diantaranya[12]:
  1. Sejak kecil beliau telah memiliki kepribadian yang mulia.
  2. Dalam hal memimpin selalu berpedoman pada aturan, dalam hal ini adalah wahyu Allâh.
  3. Dalam hal yang bersifat ijtihadiyah beliau selalu bermusyawarah dengan para sahabat.
  4. Sebagai seorang pemimpin, beliau selalu bersama umatnya dan merasakan apa yang dirasakan oleh umatnya.
  5. Dalam memimpin, beliau tidak hanya membimbing dan mengarahkan dari balik meja, tetapi beliau terjun langsung ke lapangan.
  6. Beliau sangat konsisten dengan apa yang disampaikan.
  7. Beliau sangat baik hati, lemah lembut, sederhana, jujur, amanah dan bersahaja.
Hal terpenting saat mengingat Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam adalah menjadikannya sebagai suri teladan, mencintainya, dan mengikutinya. Berkaitan dengan mengikuti Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam ini ada 3 prinsip yang penting untuk diperhatikan :
Pertama, makna mengikuti Rasul adalah mengikuti syariat yang dibawa oleh Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Allâh SWT berfirman: “Apa saja yang dibawa Rasul kepada kalian, terimalah; Apa saja yang dilarangnya atas kalian, tinggalkanlah; dan bertaqwalah kalian kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh sangat keras hukuman-Nya” (QS. al-Hasyr [59]: 7).
Tidaklah patut bagi laki-laki mukmin maupun bagi perempuan mukmin, jika Allâh dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Siapa saja yang mendurhakai Allâh dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat secara nyata” (Q.S. al-Ahzab [33]: 36).
Bahkan kesediaan mengikuti ketetapan dan keputusan hukum Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam merupakan cerminan dari keimanan. Tidak ada keimanan tanpa ketaatan pada syariat Islam (QS. al-Nisa’ [4]: 65).
Kedua, syariat Islam diturunkan oleh Zat Yang Maha Tahu tentang seluruh manusia dengan segala aspek kemanusiaannya. Perbedaan suku, bangsa, bahasa, tempat, dan waktu hidup bukanlah pembatas ataupun penghalang bagi penerapan syariat islam secara totalitas. Kewajiban penerapan syariat Islam secara totalitas tetap dapat dilaksanakan sepanjang masa. Karenanya mengikuti Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam merupakan perkara yang tetap relevan sekalipun pada zaman modern sekarang ini. Kemajuan sains dan teknologi bukanlah masalah dalam penerapan syariat Islam karena IPTEK hanya mengubah sarana hidup, namun tidak mengubah metode hidup dan kehidupan.
Ketiga, mengikuti Rasûlullâh Saw adalah sesuai dengan fitrah manusia. Karena Islam yang dibawanya sesuai dengan fitrah manusia. Setiap ajaran Islam berupa aqidah, ibadah, mu’amalah, dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan budaya pasti sesuai dengan fitrah manusia, sebab Islam berasal dari Allâh SWT, lalu diperuntukkan bagi manusia yang juga diciptakan oleh Allâh SWT. Bukan hanya itu, mengikuti Rasûlullâh adalah kebaikan, perolehan kasih sayang, dan limpahan ampunan. Allâh SWT berfirman:
Katakanlah, ”Jika kalian (benar-benar) mencintai Allâh, ikutilah aku, niscaya Allâh mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian, Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Ali’Imran [3]: 31).
Oleh karena itu dari ketiga prinsip tersebut jelas Allâh SWT memerintahkan kita untuk meneladani Rasul dalam setiap aspek kehidupan. Allâh SWT memerintahkan kita untuk menjalankan Islam secara kaffah. Karenanya di bulan Rabi’ul Awwal ini tidak cukup hanya ingat akan kelahiran Nabi Muhammad SAW saja, melainkan bagaimana kaum muslim secara kolektif melahirkan umat Islam yang satu diikat oleh akidah yang satu, dihukumi oleh aturan yang satu, dan dipimpin oleh pemimpin yang satu. Dan kita senantiasa dituntut untuk menjadikan risalah Islam yang dibawa Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam sebagai panduan hidup kita. Kita tidak boleh untuk menjadikan selain Islam sebagai solusi atau jalan keluar dari permasalahan yang kita hadapi, sebab ini terkait dengan masalah keimanan. Keimanan kita diukur dari keikhlasan kita untuk menjadikan Islam sebagai tolok ukur atas setiap masalah yang dihadapi.[13]
Maka sebagai bukti atas keimanan kita, sudah sepatutnya kita sebagai umat Islam bergerak mewarnai kehidupan ini dengan warna Islam serta memberikan solusi terhadap berbagai masalah dengan solusi Islam dan menjadikan Rasûlullâh sebagai proyek percontohan dalam setiap aspek kehidupan sehingga peringatan maulid bukan hanya sekedar simbol yang senantiasa diperingati, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana mengaplikasikan perbuatan dan perkataan serta semangat perjuangan dalam kehidupan nyata umat Islam termasuk dalam sistem pemerintahan.

0 komentar:

Posting Komentar

About Me