Setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal, umat Islam memperingatinya sebagai Hari Maulid Nabi, hari kelahiran Rasûlullâh Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
Berbagai acara pun digelar, menjelang dan sesudah hari itu. Yang paling
lazim adalah dengan tabligh akbar yang menampilkan sejumlah penceramah —
dai, ulama, dan ustadz. Berbagai sisi kehidupan Rasûlullâh dikupas.
Dari sejak lahir, kanak-kanak, remaja, dewasa hingga wafatnya. Intinya,
mengemukakan keteladanan Rasûlullâh yang dikontekskan dengan kondisi
masyarakat Indonesia kini. Diharapkan, umat Islam dapat mencontoh
keteladanan beliau. Pertanyaannya, seberapa jauh peringatan yang
diselenggarakan setiap tahun itu memberi pengaruh positif pada perilaku
dan akhlak masyarakat. Faktanya, angka korupsi di negeri ini tertinggi
di dunia, kejahatan dan tindak kriminalitas pun tidak surut, dan
kemaksiatan juga semakin merajalela dan terang-terangan.
Umat Islam selayaknya gembira ketika sampai pada bulan Rabi’ul Awwal karena pada bulan inilah Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam lahir ke dunia menjadi Utusan Allâh yang terakhir.Tidak ada lagi Nabi setelahnya. Karena itu, bulan Rabi’ul Awwal
merupakan momentum umat Islam untuk mempelajari dan menggali kemudian
menghidupkan sunnah-sunnah nabawiyyah dalam berbagai praktik kehidupan
sehari-hari. Tentu yang paling penting bagi umat Islam—pada momentum
kelahiran Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam ini — berupaya untuk semakin mengenal dan meneladani Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam Makna memperingati Maulid Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam
bukan sekedar seremonial keagamaan semata, namun hendaklah ditujukan
kearah intropeksi total diri sendiri, guna meningkatkan kualitas hidup
beragama, beribadah, dan bermasyarakat.
Sejarah
Peringatan Maulid Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam
pertama kali diselenggarakan oleh Muzaffar ibn Baktati, raja Mesir yang
terkenal arif dan bijaksana. Sedangkan pencetus ide peringatan adalah
panglima perangnya, Shalahuddin Yussuf Al-Ayubi (abad ke-6 M), sosok
pemimpin pasukan Islam yang pernah mengalahkan pasukan Kristen dalam
Perang Salib. Shalahuddin juga merupakan panglima Islam di masa Khalifah
Mu’iz Liddinillâh dari dinasti Bani Fathimiyah di Mesir (berkuasa 365
H/975 M). Seperti disebutkan dalam Ensiklopedia Islam untuk Pelajar,
ia kemudian juga gigih menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi dari
tahun ke tahun di masanya. Mengapa Shalahuddin merasa perlu mengadakan
peringatan Maulid? Sang panglima berpendapat, ketika Perang Salib
terjadi, motivasi umat Islam sangat menurun, sementara motivasi pasukan
Salib (Kristen) meningkat. Hal ini tentu tidak kondusif bagi pasukan
Islam, sehingga Shalahuddin merasa perlu membangkitkan kembali semangat
umat Islam sebagaimana umat Kristen dengan perayaan Natal-nya. Maka,
sang panglima ini kemudian mengadakan peringatan hari lahir Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam
yang kemudian dikenal dengan sebutan Maulid Nabi. Bila dalam peringatan
Natal kaum Kristen dikisahkan tentang keagungan Yesus, maka dalam
peringatan Maulid, Shalahuddin menggemakan kisah perang yang dilakukan
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Tapi belakangan, yang
dibacakan pada acara peringatan Maulid tersebut berubah, bukan lagi
kisah perang, melainkan kisah lahir dan hidup sang Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Kisah perang tampaknya dianggap tak lagi relevan.
Walaupun peringatan Maulid Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam
masih dipertanyakan oleh beberapa kalangan dan dinyatakan sebagai
bid’ah, peringatan Maulid Nabi tampaknya masih perlu dilakukan. Di
tengah perkembangan globalisasi saat ini, yang tak jarang memperlemah
semangat keimanan umat Islam, maka peringatan Maulid Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjadi sangat penting. Selain dimaksudkan untuk meneladani akhlak Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam,
peringatan Maulid juga untuk memberikan motivasi kepada umat tentang
pentingnya perang yang lebih besar, yakni perang melawan kemungkaran dan
kemaksiatan. Krisis berkepanjangan bangsa Indonesia saat ini, antara
lain disebabkan merajalelanya kemaksiatan, kemungkaran dan tidak adanya
penegakan nilai-nilai moral. Hawa nafsu lebih mendominasi kehidupan umat
manusia saat ini ketimbang moral.
Memperingati Maulid Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam
bermakna meneladani jejak langkah sunnah Rasul yang telah
diwariskannya. Beliau adalah teladan hidup yang menyemai banyak kebaikan
dalam rangkaian keindahan hidup. Keteladanan yang akan senantiasa layak
diikuti setiap generasi dari semua generasi sekarang maupun yang akan
datang. Perjalanan sejarah hidup beliau melalui berbagai fase yang penuh
kemandirian dan perjuangan. Semua perjalanannya juga dihiasi dengan
keluhuran sikap dan ketinggian budi pekerti. Rasûlullâh yang lahir
sebagai seorang yatim kemudian mampu menunjukkan berbagai hal tersebut
di atas semenjak masa kanak-kanaknya.
Dalam diri Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam
terkumpul sifat-sifat utama yaitu rendah hati, lemah lembut, jujur,
tidak suka mencari-cari cacat orang lain, sabar, tidak angkuh, santun
dan tidak mudah mabuk pujian. Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam
selalu berusaha melupakan hal-hal yang tidak berkenan di hatinya dan
tidak pernah berputus asa dalam berusaha. Oleh sebab itu Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam
adalah tipe ideal bagi seluruh kaum muslimin, termasuk bagi para sufi.
Hal ini sesuai dengan firman Alah SWT dalam al-Qur’an surat al-Ahzâb
[33]: 21, “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasûlullâh itu suri
teladan yang baik bagimu yaitu bagi orang yang mengharap ( rahmat )
Allâh dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Alah.” (QS al-Ahzâb [33]: 21)
Menurut berbagai riwayat, pada masa
remajanya, Muhammad yang tinggal dengan pamannya, melakukan pekerjaan
yang biasa dikerjakan oleh mereka yang seusianya. Beliau memulai
mengasah mentalitas wirausahanya dengan menjadi penggembala untuk
orang-orang Mekkah di masa kanak-kanaknya. Dengan menjadi penggembala
beliau mendapatkan upah, guna meringankan sedikit beban yang ditanggung
oleh pamannya. Beliau ingin berpenghasilan dan bisa mandiri. Tidak
hendak berpangku tangan hanya sekedar bermain saja. Sebagai anak muda
yang jujur dan punya harga diri, beliau sama sekali tidak suka
berlama-lama menjadi tanggungan pamannya yang memiliki beban keluarga
besar.[1]
Sebuah perkerjaan yang kemudian
mengantarkan beliau untuk lebih banyak merenung dan berpikir tentang
kondisi kaumnya. Kaumnya yang saat itu terejerumus dalam berbagai bentuk
kejahilliyahan, menyembah berhala, menjalankan riba, minum minuman
keras serta pelbagai macam kesenangan dan hiburan sepuas-puasnya tidak
menarik minat Muhammad remaja sedikitpun. Jiwa bersihnya yang selalu
mendambakan kesempurnaan menyebabkan beliau menjauhi foya-foya, yang
biasa menjadi kesenangan utama penduduk Mekkah. Beliau mendambakan
cahaya hidup yang akan lahir dalam segala manifestasi kehidupan, dan
yang akan dicapainya hanya dengan dasar kebenaran. Kenyataan ini
dibuktikan dengan julukan yang diberikan orang kepadanya dan bawaan yang
ada dalam dirinya. Itu sebabnya, sejak masa kanak-kanak gejala
kesempurnaan, kedewasaan dan kejujuran hati sudah tampak, sehingga
penduduk Mekkah semua memanggilnya al-Amîn (yang dapat dipercaya).[2]
Bulan Rabi’ul Awal merupakan
bulan ekspresi kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW. Hari-hari pada bulan
ini banyak digunakan untuk mengenang kebesaran dan jasa-jasanya. Beliau
adalah manusia pilihan Allâh SWT, dialah manusia mulia yang telah
menunaikan amanah, menyampaikan risalah, membina umat, dan membebaskan
manusia dari penyembahan kepada berhala menuju pada penyembahan kepada
Allâh SWT.
Sungguh ironis memang. Bulan ini kita
kembali memasuki bulan Rabi’ul Awwal, bulan yang di dalamnya dilahirkan
seorang manusia pilihan untuk menyempurnakan risalah yang telah dibawa
sejak nabi Adam AS. Rasanya tepat bagi kita bermuhasabah sejenak,
kembali merenungi sosok agung tersebut agar kita dapat kembali kejalan
yang benar. Wujud cinta kita kepada Rasûlullâh selalu kita buktikan
dengan mengikuti perbuatan-perbuatannya. Rasul menganjurkan berbuat baik
kepada semua orang, dengan segera kita melaksanakannya. Ketika Rasul
menyuruh kita sopan santun, jujur, adil, bersikap pemaaf, maka dengan
antusias kita menyambut dan melaksanakan perintah itu. Sehingga dalam
kadar tertentu kita telah menjadikan Rasûlullâh sebagai figur yang harus
diteladani dalam segala komponen kehidupan. Bahkan Rasûlullâh adalah ushwatun hasanah atau teladan yang baik.[3]
Rethinking Maulid Maulid Nabi
Meskipun Maulid Nabi diperingati setiap
tahun, mengapa perilaku masyarakat tetap tidak berubah. Salah satu
penyebabnya adalah adanya tarik menarik antara kebaikan dan keburukan.
Di negeri ini, rupanya keburukan lebih menarik daripada kebaikan.
Apalagi keburukan dikemas dalam bentuk yang lebih menarik dan indah,
sehingga kebaikan pun menjadi terpendam. Ini merupakan tantangan bagi
para penganjur kebaikan, baik individu, kelompok maupun lembaga atau
institusi. Yakni, bagaimana mereka bisa menyampaikan kebaikan dengan
cara yang efektif dan menarik. Para penganjur keburukan kini jumlahnya
semakin meningkat. Mereka juga sangat cerdik mengemas keburukan itu
dalam berbagai bentuk, termasuk lewat dunia hiburan berkedok seni.
Mereka mengemas pornografi dengan dalih ekspresi seni (baca: seperti
seni erotis zaman jahiliyah). Kebanyakan umat Islam sebenarnya sudah
tahu bahwa Rasûlullâh itu adalah teladan yang baik. Masalahnya, lanjut
Quraish Shihab, kemauan meneladani itu terhalang oleh nafsu.[4]
Pada masa sekarang ini yang paling
menonjol untuk dicontoh dari Rasûlullâh adalah sifat jujur atau amanah.
Dua sifat ini sudah banyak hilang dan akhirnya menciptakan
kemungkaran-kemungkaran yang berakibat kepada kesengsaraan masyarakat.
Krisis moral dan akhlak ditambah dengan tidak adanya keteladanan para
pemimpin (baca: karena mereka juga cacat moral dan akhlak). Bagaimana
mungkin pemimpin akan mengubah masyarakat kepada keadilan dan
kesejahteraan jika pemimpinnya tidak memberikan teladan. Krisis ekonomi
yang berkepanjangan sebenarnya adalah akibat pemimpin-pemimpin yang
tidak jujur dan tidak amanah. Seorang pemimpin seharusnya meneladai
empat sifat Rasûlullâh: bisa dipercaya, patut menerima kepercayaan, bisa
dan mampu menyampaikan kebenaran, serta bijaksana dan cerdas.
Sifat-sifat inilah yang harus ditiru umat Islam, terutama mereka yang
saat ini diamanati berkuasa di negeri ini.[5]
Umat Islam sekarang ini memahami pribadi
Rasûlullâh dengan cara yang sangat formal dan normatif. Nabi Muhammad
ditampilkan hanya sebatas pada ceramah-ceramah, khutbah, dan sebagainya,
tapi tidak dikonstruksikan sebagai bagian dari diri mereka (umat
Islam). Yang ada hanya transfer ilmu dan pengetahuan bukan nilai-nilai
yang harus ditanamkan dalam diri umat. Sebagai contoh biasanya para
penceramah peringatan Maulid memposisikan Nabi Muhammad SAW sebagai
sosok di langit, lebih sebagai pahlawan dan wakil dari Tuhan. Nabi tidak
diajarkan dengan pendekatan dengan menyampaikan nilai-nilai kemanusiaan
yang ada pada diri nabi sehingga nabi adalah sosok yang nyata dan dapat
dicontoh. Seperti telah Allâh firmankan: “Katakanlah: sesungguhnya
aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku:
bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa. Barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal
yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat
pada Tuhannya” (QS. Al-Kahfi [18]: 110). Sehingga wajar jika sampai
saat ini kegiatan peringatan Maulid Nabi hanya sebatas seremonial dan
kurang membekas pada umat Islam.
Ada lagi sebagian dari umat Islam
mencontoh dan meneladani Nabi hanya pada hal-hal yang menguntungkan diri
mereka pribadi. Misalnya mencontoh beristri lebih dari satu, tetapi
mereka adalah orang yang tidak mencontoh sifat adil pada diri
Rasûlullâh. Menuntut orang lain untuk hidup sederhana tetapi dirinya
sendiri hidup foya-foya dan hura-hura. Keteladanan Rasûlullâh tidak
seharusnya diambil sebagian-sebagian. Seluruh kehidupan Rasûlullâh harus
kita jadikan teladan, mulai dari bagaimana beliau bermasyarakat,
menjadi pemimpin, komandan perang, pedagang, pendidik, sebagai suami,
ayah, sebagai teman, dan seterusnya. Itulah inti dari peringatan Maulid
Nabi.
Namun amat disayangkan, rasa cinta
kepada Rasûlullâh itu sedikit demi sedikit mulai memudar sesuai dengan
berkembangnya peradaban. Sangat ironis memang, ternyata generasi muda
kita lebih paham dan mengikuti “sabda-sabda” yang mereka anggap sebagai
figur “teladan”. Tak bisa menutup mata, bahwa remaja kita mulai gandrung
dengan tokoh-tokoh artis yang mereka anggap mampu memberi inspirasi
dalam hidupnya. Bahkan dalam tataran tertentu mampu menumbuhkan
histeria. Bukan saja kaum muda yang sudah mematut-matut diri menyamakan
dengan idola pujaannya. Namun, tanpa disadari kaum tua pun telah
melakukan hal yang sama, meski dalam unsur yang berbeda. Dalam diri kita
mulai merayap pemikiran dan perasaan yang bertolak belakang dengan
sikap Rasûlullâh sebagai teladan kita. Betapa naifnya kita mengaku-ngaku
mencintai dan meneladani Rasûlullâh sementara kita sendiri tak pernah
mengikuti perilakunya. Cinta kita, cinta palsu belaka. Di satu sisi kita
senantiasa bersholawat kepadanya, tapi pada kesempatan yang lain kita
malah melakukan perbuatan yang dilarangnya, yang jelas bertentangan
dengan perilaku mulianya.[6]
Satu hal yang bisa kita dapati bila kita
mencintai dan meneladani Rasûlullâh dalam segala komponen kehidupan,
yang tak akan pernah kita jumpai dalam mencintai dan meneladani selain
Rasûlullâh, yakni Rasûlullâh akan memberi “bonus” berupa syafaat kepada
kita di hari penghisaban, bila kita mengikuti apa-apa yang
diperintahkannya dan menghindari apa yang dilarangnya. Tak perlu menipu
diri dengan menganggap nanti akan mendapat syafaat, sementara kita tak
pernah meledani perbuatan Rasûlullâh.
Cara Meneladani Rasûlullâh saw
Seseorang yang mempunyai idola tentu
saja prilakunya tidak jauh dari sosok yang diidolakan. Berusaha menyukai
hal-hal yang disukai idola, mengoleksi atribut-atribut yang ada
hubungannya dengan idola, bahkan berusaha mati-matian berpola hidup
seperti sang idola. Begitu pula ketika kita mengaku mengidolakan
Rasûlullâh. Konsekuensinya tentu saja kita harus menghidupkan
sunnah-sunnahnya baik berupa perbuatan, perkataan maupun penetapan
beliau. Jangan mengaku mengidolakan Rasûlullâh jika membaca al-Qur’an
saja jarang-jarang. Sholat wajib masih sering bolong. Bermuka
manis terhadap sesama terasa sulit. Pelit untuk bersedekah. Gemar
berbohong. Gunjing sana-sini. Jam karet dan ingkar janji jadi kebiasaan.
Semua hal tersebut tentu saja kontradiksi dari apa yang telah
dicontohkan oleh Rasûlullâh.
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ
تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ
ذُنُوْبَكُمْ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
“31. Katakanlah: Jika kamu
(benar-benar) mencintai Allâh, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku,
niscaya Allâh mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allâh Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 31).
Imam at-Thabarî, ketika menafsirkan ayat
ini berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan hakim (pemutus perkara)
bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allâh, akan tetapi dia tidak
mengikuti jalan (sunnah) Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam,
maka dia adalah orang yang berdusta dalam pengakuan tersebut dalam
masalah ini, sampai dia mau mengikuti syariat dan agama yang dibawa oleh
Nabi Muhammad dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaannya.
Berakhlaklah seperti al-Qur’an, karena ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anha. ketika ditanya bagaimanakah akhlak nabi, beliau menjawab Sungguh akhlak Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam
adalah al-Qur’an. Barang siapa mengamalkan al-Qur’an dan sunnah, maka
sungguh ia telah meneladani Rasûlullâh dengan sebenar-benarnya.[7]
Meneladani Kepemimpinan Rasûlullâh
Urusan kepemimpinan dalam Islam
merupakan salah satu kewajiban agama diantara kewajiban lainnya, sebab
agama tidak mungkin tegak tanpa pemimpin. Hal ini erat kaitannya dengan
fitrah manusia, dimana setiap manusia itu dilahirkan untuk menjadi
seorang pemimpin. Seperti sabda Rasulullah, “setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya”
(HR. Bukhari dan Muslim). Hanya tingkatan pemimpin itu yang berbeda,
ada yang memimpin dalam lingkup kecil seperti lingkup keluarga, sampai
lingkup yang paling besar seperti menjadi pemimpin suatu negara. Namun
di level mana pun seorang pemimpin pasti ingin menjadi pemimpin yang
sukses dan ditaati. Pemimpin yang sukses adalah pemimpin yang mampu
membawa perubahan yang lebih baik pada yang dipimpinnya.[8]
Kepemimpinan sesungguhnya tidak
ditentukan oleh pangkat ataupun jabatan seseorang. Kepemimpinan adalah
sesuatu yang muncul dari dalam dan merupakan buah dari keputusan
seseorang untuk mau menjadi pemimpin, baik bagi diri sendiri, keluarga,
lingkungan sekitanya, maupun lingkungan masyarakat luas/negara.
Kepemimpinan adalah sebuah keputusan dan lebih merupakan hasil proses
dari perubahan karakter atau transformasi internal dalam diri seseorang.
Kepemimpinan bukanlah jabatan atau gelar, melainkan sebuah kelahiran
dari proses panjang dalam diri seseorang. Ketika seseorang menemukan
visi dan misi hidupnya, ketika terjadi perdamaian dalam diri (inner peace)
dan membentuk bangunan karakter yang kokoh, ketika setiap ucapan dan
tindakannya mulai memberikan pengaruh pada lingkungannya, dan ketika
keberadaannya mendorong perubahan dalam organisasinya, maka pada saat
itulah seseorang lahir menjadi pemimpin sejati. Pemimpin sejati bukan
sekedar gelar atau jabatan yang diberikan dari luar melainkan sesuatu
yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri seseorang.[9]
Kepemimpinan merupakan salah satu topik
yang selalu menarik untuk dikaji dan diteliti, karena paling banyak
diamati sekaligus fenomena yang paling sedikit dipahami. Fenomena
kepemimpinan di negara Indonesia juga telah membuktikan bagaimana
kepemimpinan telah berpengaruh sangat besar terhadap kehidupan
berpolitik dan bernegara. Dalam kehidupan apapun, kepemimpinan
berpengaruh sangat kuat terhadap jalannya organisasi dan kelangsungan
hidupnya. Sebaliknya, jika pemimpin tidak pernah menggunakan nilai-nilai
prophetic intellegence dalam kepemimpinannya maka jangan
pernah berharap roda organisasi akan berjalan dengan baik maka kalau
sudah meninggalkan prinsip-prinsip yang telah ditanamkan Rasul tentunya
suatu organisasi akan tenggelam dan selanjutnya tinggal menunggu
saat-saat kematiannya. Kepemimpinan sebagai salah satu penentu arah dan
tujuan organisasi harus mampu melakukan perubahan-perubahan konstruktif.
Pemimpin yang tidak dapat mengantisipasi dunia yang sedang berubah ini,
atau setidaknya tidak memberikan respon, besar kemungkinan akan
memasukkan organisasinya dalam situasi stagnasi dan akhirnya mengalami
keruntuhan.[10]
Ada dua hal penting dalam prinsip-prinsip kepemimpinan:
- Bertaqwa kepada Allâh
Kepemimpinan yang dilandasi dengan taqwa
akan melahirkan suatu sistem masyarakat yang tidak mengenal
diskriminasi di antara mereka sebab pemimpin dalam menjalankan tugas
kepemimpinannya lebih merupakan pengabdian kepada masyarakat sekaligus
dalam rangka beribadah kepada Allâh SWT.
- Menjadikan pemimpin sebagai amanah
Dalam Islam, sesungguhnya pemimpin itu
adalah amanah dari Allâh SWT, sehingga tidak saja harus
dipertanggungjawabkan di dunia akan tetapi juga harus
dipertanggungjawabkan di akhirat Banyak di antara kita yang tidak
menyadari, bahwa seorang pemimpin sejati seringkali tidak diketahui
keberadaannya oleh mereka yang dipimpin. Bahkan ketika misi dan tugas
terselesaikan, maka seluruh anggota tim akan mengatakan bahwa merekalah
yang melakukan sendiri. Pemimpin sejati adalah seorang pemberi semangat (encourager), motivator, inspirator dan maximizer.
Konsep pemikiran seperti ini adalah sesuatu yang baru dan mungkin tidak
bisa diterima oleh para pemimpin konvensional yang justru mengharapkan
penghormatan dan pujian (honor and praise) dari mereka yang
dipimpin. Semakin dipuji semakin tinggi hati dan lupa dirilah seorang
pemimpin itu. Justru pemimpin sejati mesti harus menerapkan pola
kepemimpinan yang didasarkan pada kerendahan hati (humble). Nabi Muhammad SAW adalah pemimpin yang sangat berhasil. Beliau berhasil merubah masyarakat Arab yang awalnya berperilaku jahiliyah menjadi masyarakat madani yang berperadaban tinggi dan mulia.[11] Ada beberapa faktor yang menyebabkan kepemimpinan Rasûlullâh sangat berhasil, diantaranya[12]:
- Sejak kecil beliau telah memiliki kepribadian yang mulia.
- Dalam hal memimpin selalu berpedoman pada aturan, dalam hal ini adalah wahyu Allâh.
- Dalam hal yang bersifat ijtihadiyah beliau selalu bermusyawarah dengan para sahabat.
- Sebagai seorang pemimpin, beliau selalu bersama umatnya dan merasakan apa yang dirasakan oleh umatnya.
- Dalam memimpin, beliau tidak hanya membimbing dan mengarahkan dari balik meja, tetapi beliau terjun langsung ke lapangan.
- Beliau sangat konsisten dengan apa yang disampaikan.
- Beliau sangat baik hati, lemah lembut, sederhana, jujur, amanah dan bersahaja.
Hal terpenting saat mengingat Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam adalah menjadikannya sebagai suri teladan, mencintainya, dan mengikutinya. Berkaitan dengan mengikuti Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam ini ada 3 prinsip yang penting untuk diperhatikan :
Pertama, makna mengikuti Rasul adalah mengikuti syariat yang dibawa oleh Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Allâh SWT berfirman: “Apa
saja yang dibawa Rasul kepada kalian, terimalah; Apa saja yang
dilarangnya atas kalian, tinggalkanlah; dan bertaqwalah kalian kepada
Allâh. Sesungguhnya Allâh sangat keras hukuman-Nya” (QS. al-Hasyr [59]: 7).
“Tidaklah patut bagi laki-laki
mukmin maupun bagi perempuan mukmin, jika Allâh dan Rasul-Nya telah
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)
tentang urusan mereka. Siapa saja yang mendurhakai Allâh dan Rasul-Nya
maka sesungguhnya dia telah sesat secara nyata” (Q.S. al-Ahzab [33]: 36).
Bahkan kesediaan mengikuti ketetapan dan keputusan hukum Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam merupakan cerminan dari keimanan. Tidak ada keimanan tanpa ketaatan pada syariat Islam (QS. al-Nisa’ [4]: 65).
Kedua, syariat Islam diturunkan
oleh Zat Yang Maha Tahu tentang seluruh manusia dengan segala aspek
kemanusiaannya. Perbedaan suku, bangsa, bahasa, tempat, dan waktu hidup
bukanlah pembatas ataupun penghalang bagi penerapan syariat islam secara
totalitas. Kewajiban penerapan syariat Islam secara totalitas tetap
dapat dilaksanakan sepanjang masa. Karenanya mengikuti Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam
merupakan perkara yang tetap relevan sekalipun pada zaman modern
sekarang ini. Kemajuan sains dan teknologi bukanlah masalah dalam
penerapan syariat Islam karena IPTEK hanya mengubah sarana hidup, namun
tidak mengubah metode hidup dan kehidupan.
Ketiga,
mengikuti Rasûlullâh Saw adalah sesuai dengan fitrah manusia. Karena
Islam yang dibawanya sesuai dengan fitrah manusia. Setiap ajaran Islam
berupa aqidah, ibadah, mu’amalah, dalam bidang sosial, politik, ekonomi,
dan budaya pasti sesuai dengan fitrah manusia, sebab Islam berasal dari
Allâh SWT, lalu diperuntukkan bagi manusia yang juga diciptakan oleh
Allâh SWT. Bukan hanya itu, mengikuti Rasûlullâh adalah kebaikan,
perolehan kasih sayang, dan limpahan ampunan. Allâh SWT berfirman:
Katakanlah, ”Jika kalian
(benar-benar) mencintai Allâh, ikutilah aku, niscaya Allâh mencintai
kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian, Allâh Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang” (QS. Ali’Imran [3]: 31).
Oleh karena itu dari ketiga prinsip
tersebut jelas Allâh SWT memerintahkan kita untuk meneladani Rasul dalam
setiap aspek kehidupan. Allâh SWT memerintahkan kita untuk menjalankan
Islam secara kaffah. Karenanya di bulan Rabi’ul Awwal ini tidak
cukup hanya ingat akan kelahiran Nabi Muhammad SAW saja, melainkan
bagaimana kaum muslim secara kolektif melahirkan umat Islam yang satu
diikat oleh akidah yang satu, dihukumi oleh aturan yang satu, dan
dipimpin oleh pemimpin yang satu. Dan kita senantiasa dituntut untuk
menjadikan risalah Islam yang dibawa Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam
sebagai panduan hidup kita. Kita tidak boleh untuk menjadikan selain
Islam sebagai solusi atau jalan keluar dari permasalahan yang kita
hadapi, sebab ini terkait dengan masalah keimanan. Keimanan kita diukur
dari keikhlasan kita untuk menjadikan Islam sebagai tolok ukur atas
setiap masalah yang dihadapi.[13]
Maka sebagai bukti atas keimanan kita,
sudah sepatutnya kita sebagai umat Islam bergerak mewarnai kehidupan ini
dengan warna Islam serta memberikan solusi terhadap berbagai masalah
dengan solusi Islam dan menjadikan Rasûlullâh sebagai proyek percontohan
dalam setiap aspek kehidupan sehingga peringatan maulid bukan hanya
sekedar simbol yang senantiasa diperingati, tetapi yang lebih penting
adalah bagaimana mengaplikasikan perbuatan dan perkataan serta semangat
perjuangan dalam kehidupan nyata umat Islam termasuk dalam sistem
pemerintahan.
0 komentar:
Posting Komentar