Amalan
yang mulia tentu saja harus dimulai dengan ilmu terlebih dahulu. Karena
kita sebagai seorang muslim tidak boleh beribadah serampangan. Kata
'Umar bin 'Abdul 'Aziz, “Barangsiapa beribadah kepada Allah tanpa
didasari ilmu, maka kerusakan yang diperbuat lebih banyak daripada
kebaikan yang diraih.” (Majmu’ Al Fatawa, 2: 382). Jadi, biar ibadah
puasa kita tidak sia-sia, dasarilah dan awalilah puasa tersebut dengan
ilmu.
Kali ini Buletin At Tauhid akan mengetangahkan kajian puasa
secara ringkas yang banyak merujuk pada Matan Al Ghoyah wat Taqrib
(Ghoyatul Ikhtishor) karya Al Qodhi Abu Syuja' Ahmad bin Al Husain Al
Ashfahani Asy Syafi’i (433-593 H), di samping ada tambahan pula dari
penjelasan ulama lainnya.
Puasa secara bahasa berarti menahan diri
(al imsak) dari sesuatu. Sedangkan secara istilah, puasa adalah menahan
hal tertentu yang dilakukan oleh orang tertentu pada waktu tertentu
dengan memenuhi syarat tertentu. (Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 248).
Dalil Kewajiban Puasa
Allah
Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 183). Kata ‘kutiba’
dalam ayat ini berarti diwajibkan.
Dari hadits shahih, dari
‘Abdullah bin ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam
dibangun di atas lima perkara: (1) bersaksi bahwasanya tidak ada
sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan
Allah, (2) mendirikan shalat, (3) menunaikan zakat, (4) haji, (5) puasa
Ramadhan.” (Muttafaqun 'alaih). Bahkan ada dukungan ijma’ (konsensus
ulama) yang menyatakan wajibnya puasa Ramadhan.
Syarat Wajib Puasa
Kata Abu Syuja', ada empat syarat wajib puasa: (1) islam, (2) baligh, (3) berakal, (4) mampu menunaikan puasa.
Selasa, 12 November 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar