HUKUM IKLAN : SEBUAH TINJAUAN SYARI'AH
Oleh
Syaikh Muhammad bin Ali al Kamili
Iklan atau promosi memiliki peran penting dalam memperkenalkan suatu 
produk, baik produk tersebut berwujud barang, program ataupun sekedar 
untuk menunjukkan keberadaan sebuah institusi. Pada masa ini, dengan 
semakin canggihnya teknologi informasi, pemaparan iklan memiliki banyak 
unsur yang bisa mendukungnya, sehingga mampu menampilkan bentuk iklan 
sedemikian rupa. Bukan saja hanya dengan tulisan, tetapi unsur audio dan
 video juga sangat membantu periklanan ini. Begitu pula, adanya 
persaingan yang ketat, pemasang iklan pun tak lupa memberikan pariwara 
dengan bermacam hadiah yang menggiurkan konsumen yang selalu menjadi. 
Bagaimanakah tinjauan syari'at dalam masalah iklan ini? Insya Allah, 
tulisan berikut akan memberikan pemaparan, yang kami angkat dari risalah
 Syaikh Muhammad bin Ali al Kamili yang berjudul Ahkam al I’lanat 
at-Tijariyyah, Penerbit Daruth-Thayyibah al-Khadhra, Cetakan Tahun 2001.
 Diringkas dengan beberapa penjelasan seperlunya oleh Ustadz Hermawan 
as-Sundee
DEFINISI
Kata iklan, berasal dari bahasa Arab, yaitu i'lan, yang artinya 
pemberitahuan[1]. Dalam ilmu bisnis, yang dimaksud dengan iklan ialah, 
suatu aktivitas yang dilakukan oleh produsen, baik secara langsung 
ataupun tidak, untuk memperkenalkan produknya kepada khalayak (konsumen)
 melalui beragam media. Tujuannya, yaitu untuk menambah atau 
meningkatkan permintaan atas produknya.[2] 
Karena beberapa bentuk iklan menyertakan hadiah dengan beragam 
bentuknya, maka ada baiknya perlu diketahui juga definisi hadiah. Yang 
dalam bahasa Arab, hadiah disebut ja’izah atau jawa’iz, yang berarti 
pemberian[3]. Adapun makna hadiah dalam pembahasan ini, yaitu suatu 
pemberian dari pihak produsen kepada konsumen, yang bentuknya sesuai 
dengan kehendak produsen, baik berupa barang ataupun jasa, baik secara 
langsung ataupun melalui suatu perlombaan, kuis, undian, dan sebagainya,
 baik secara cuma-cuma atau dengan syarat-syarat tertentu, sebagai 
sarana mempromosikan produk[4]. 
Selain itu, untuk melengkapi pemahaman masalah ini, terlebih dahulu juga
 perlu diketahui definisi maysir, qimar, dan gharar. Masalah-masalah ini
 akan banyak bersinggungan dengan hukum seputar periklanan. 
Maysir, secara bahasa berarti permainan dengan media anak panah. Adapun 
makna secara syari’at, yaitu permainan, dan bagi pemenangnya disediakan 
sejumlah hadiah yang dikumpulkan dari orang-orang yang terlibat dalam 
permainan tersebut.[5] 
Qimar, secara bahasa berarti taruhan. Dalam hal ini terdapat unsur 
ketidakpastian, yaitu antara akan mendapatkan keuntungan atau kerugian, 
atau antara akan mendapatkan keuntungan atau impas, atau antara 
mengalami kerugian atau impas[6]. 
Sedangkan Gharar, secara bahasa berarti penipuan. Dalam istilah syari’at
 diartikan sebagai sesuatu yang akibatnya majhul (tidak diketahui) dan 
tidak dapat diprediksikan sebelumnya [7]. 
Apakah antara maysir dan qimar terdapat perbedaan? Dalam masalah ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Pada dasarnya keduanya diharamkan karena mengandung unsur ketidakpastian dalam hal perhitungan untung ruginya. 
2. Kebanyakan para ulama tidak menyebutkan perbedaan antara keduanya. 
Sebagian yang lainnya ada yang memandang, bahwa maysir lebih luas 
ketimbang qimar. Kata mereka, qimar merupakan salah satu dari maysir. 
Jadi, setiap qimar adalah maysir, tetapi tidak sebaliknya.
Adapun hukumnya, ketiganya memiliki persamaan, yaitu haram. Ini 
ditegaskan dengan beragam dalil yang telah dijelaskan pada poin-poin 
tersebut.
TINJAUAN SYARI’AT
Memandang iklan yang amat beragam bentuk, media, dan penampilannya, maka
 Islam memiliki batasan-batasan berkaitan dengan masalah tersebut. Yang 
pada dasarnya berpijak pada kaidah “menciptakan manfaat dan mencegah 
mudarat”. Ini tidak lain agar iklan tetap berada dalam koridor syari’at,
 sejalan dengan kaidah yang berlaku, dan terjaganya maqashidusy 
syari’ah, yaitu melindungi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Hukum Iklan Secara Umum
Secara umum, iklan yang mendatangkan manfaat, diperbolehkan. Bahkan 
secara khusus, iklan terdapat dalam materi syari’at sendiri. Misalnya 
mengiklankan pernikahan. Dan adzan sendiri, yang setiap hari 
berkumandang merupakan "iklan" berkaitan dengan shalat yang akan 
didirikan. 
Sedangkan hukum iklan dari segi penampilannya, secara umum adalah sebagai berikut:
1. Iklan Yang Mengandung Penipuan (Mengelabui Konsumen) Atau Gharar.
Hukumnya adalah haram. Banyak dalil yang menegaskan keharaman tipu muslihat ini. Satu di antaranya adalah hadits berikut:
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا
"Barangsiapa yang mengelabui (menipu) kami, maka ia bukan golongan kami" [8]. 
Apabila produsen mengiklankan suatu produk secara berlebihan dan tidak 
sesuai dengan hakikat produknya, maka konsumen yang sudah terjebak 
membeli produknya tersebut, berhak untuk mengembalikannya. Dan produknya
 sendiri terhitung sebagai barang yang cacat. 
Juga, bagi si pembeli ada dua alternatif. Yaitu mengembalikan barang 
yang dibelinya, atau tidak mengembalikannya, tetapi meminta ganti rugi 
sesuai dengan nilai kekurangan barang tersebut.
2. Iklan Yang Disertai Musik. 
Hukumnya adalah haram. Sebab, musik hukumnya haram. Keharamannya 
ditegaskan oleh sejumlah dalil. Di antaranya adalah hadits berikut:
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِف
"Akan ada dari umatku segolongan yang menghalalkan perzinaan, sutra, yang memabukkan, dan musik…"[9] 
3. Iklan Mempergunakan Gambar. 
Hukumnya tergantung kepada gambarnya. Berkaitan dengan pemakaian gambar ini, terdapat penjelasan sebagai berikut:
a. Gambar benda mati, hukumnya diperbolehkan karena tidak memiliki nyawa. 
b. Gambar makhluk hidup. Berkaitan dengan gambar ini ada beberapa bentuk.
b.1. Berupa potongan dari makhluk hidup yang tidak memungkinkannya untuk
 hidup, misal gambar tangan, kaki, mata, dan lain-lain, maka hukumnya 
tidak haram.[10] 
b.2. Gambar sebagian atau utuh dari makhluk hidup yang memungkinkannya 
untuk hidup. Gambar seperti ini diharamkan. Keharamannya ditegaskan oleh
 sejumlah dalil. Di antaranya adalah sabda Nabi berikut ini:
"كُلّ مُصَوّرٍ فِي النّارِ. يَجْعَلُ لَهُ، بِكُلّ صُورَةٍ صَوّرَهَا، نَفْساً فَتُعَذّبُهُ فِي جَهَنّمَ".
وَقَالَ ابن عباس: إنْ كُنْتَ لاَ بُدّ فَاعِلاً، فَاصْنَعِ الشّجَرَ وَمَا لاَ نَفْسَ لَه
"Setiap pelukis (tukang menggambar) tempatnya adalah neraka. Akan 
dijadikan pada setiap gambar yang dilukisnya memiliki nyawa dan 
mengadzabnya di dalam neraka Jahannam". 
Ibnu Abbas berkata,"Apabila Anda harus menggambar, maka gambarlah pepohonan dan yang tidak memiliki nyawa.” [11]
Syaikh 'Utsaimin berkata,"Gambar ada dua jenis. Yaitu gambar yang 
dihasilkan oleh tangan (lukisan tangan secara manual) dan gambar dengan 
alat (fotografi). Gambar dengan tangan hukumnya haram. Bahkan termasuk 
dosa besar. Sedangkan gambar fotografi yang dihasilkan oleh kamera, 
dengan tanpa campur tangan manusia dalam perancangannya, maka ini 
menjadi perdebatan para ulama mutaakhirin. Ada yang memperbolehkannya, 
dan ada juga yang melarangnya. Yang lebih hati-hati dalam masalah ini 
ialah menghindarinya, sebab termasuk perkara syubhat. [12]
Dan yang tampak kuat adalah, wallahu a’lam, bahwa gambar fotografi hukumnya haram, sebab termasuk jenis gambar juga.[13]
c. Sedangkan iklan yang berupa “gambar bergerak” (video), apabila hanya berupa gambar benda-benda tak bernyawa, hukumnya boleh.
Adapun iklan yang mempergunakan gambar-gambar makhluk bernyawa 
(berdasarkan pendapat yang memperbolehkannya), maka patut memperhatikan 
batasan-batasan berikut. 
c.1. Perempuan tidak dibolehkan tampil dalam iklan. Iklan yang tidak mengindahkannya, berarti haram. 
c.2. Anak kecil diperbolehkan untuk tampil dalam iklan sepanjang aman dari fitnah. 
c.3. Hewan dibolehkan ditampilkan, terkecuali yang haram, seperti anjing dan babi. Apabila konteksnya memuliakan. 
c.4. Laki-laki dibolehkan tampil dalam iklan, dengan syarat tidak 
menampakkan aurat, berpakaian sopan dan tidak tergambarkan auratnya, 
tidak ada unsur menyerupai wanita atau orang kafir, tidak berkaitan 
dengan hal-hal yang diharamkan, dan tidak mengundang perhatian 
perempuan.
4. Promosi Mempergunakan Media Suara. 
Secara umum, dalam masalah ini terdapat empat jenis suara. Yaitu: suara manusia, suara hewan, suara alat, dan suara alam.
a. Suara manusia. Pembagiannya meliputi:
a.1. Suara anak kecil. 
Sebelum mencapai usia baligh, suara anak kecil tidak mengapa 
dipergunakan dalam iklan, sepanjang aman dari fitnah. Apabila 
menimbulkan fitnah, maka hukumnya haram. Selain itu, isi pembicaraannya 
pun hanya yang baik-baik, tidak bertentangan dengan ajaran Islam. 
a.2. Suara lelaki dewasa. 
Promosi dengan suara lelaki dewasa dibolehkan, dengan batasan-batasan: 
tidak disertai dengan hal-hal yang bertentangan dengan syari’at, suara 
atau intonasinya tidak dibuat-buat (tamayyu’), apalagi sampai menyerupai
 wanita, isi pembicaraannya pun baik dan beradab, serta tidak 
menimbulkan fitnah, baik dari sisi suaranya itu sendiri atau pemilik 
suaranya, atau keduanya sekaligus. 
a.3. Suara wanita. 
Suara wanita tidak dibolehkan untuk dilibatkan dalam iklan. Bukan sebuah
 kedaruratan jika suatu produk mesti diiklankan oleh wanita, karena yang
 lain bisa menggantikannya untuk mengiklankannya. Wanita diperintahkan 
untuk merendahkan suaranya. Wanita dilarang berbicara secara ‘menggoda’ 
atau lembut di hadapan para lelaki. Larangan ini, karena dalam suara 
wanita dapat menimbulkan fitnah. Allah Ta’ala berfirman:
يَا نِسَاء النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَاء إِنِ 
اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي 
قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَّعْرُوفاً 
"Wahai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang 
lain, jika kamu bertakwa. Maka, janganlah kamu tunduk dalam berbicara 
sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan 
ucapkanlah perkataan yang baik". [al-Ahzab/33:32]
b. Suara hewan. Tidak mengapa berpromosi mempergunakan suara hewan. 
Tidak mengandung masalah apapun di dalamnya, sepanjang tidak untuk 
menakut-nakuti. Dan bisa saja hukumnya makruh, apabila suara yang 
dipergunakan adalah suara hewan yang kita disuruh berlindung darinya. 
Misalnya suara anjing dan keledai. Wallahu a’lam.
c. Suara alat. Ada dua jenis, yaitu:
c.1. Suara musik. Suara yang seperti ini diharamkan penggunaanya, sebagaimana sudah disinggung di muka. 
c.2. Alat-alat lain yang tidak termasuk permainan melalaikan atau alat 
musik, misalnya mobil, motor, komputer, dan lain sebagainya. Penggunaan 
alat-alat semacam ini dibolehkan. Wallahu a’lam.
d. Suara alam. Yang dimaksud, misalnya suara angin, air, petir, dan sebagainya. Penggunaannya dibolehkan.

Selasa, 30 Oktober 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
 
 


 
 
0 komentar:
Posting Komentar